Posfeminisme, sebagaimana dalam kasus poskolonialisme dan
posmodernisme, sering digunakan untuk menandai keterputusan total dengan
wilayah sebelumnya yang biasanya merupakan relasi yang ‘ menindas’ .
Dalam praktiknya , posfeminisme menantang asumsi – asumsi hegemonik yang
dipegang oleh epistemologi feminis gelombang kedua bahwa patriarki dan
imperialis adalah pengalaman penindasan yang universal. Posfeminisme,
sebagaimana dengan poskolonialisme , merepresentasikan kemungkinan
ketertarikan seseorang di dalam politik perbedaan yang telah muncul
sebagai situs yang penting bagi mobilisasi politik……
Post – feminisme tercipta pada periode antara tercapainya hak pilih perempuan AS dan kebangkitan feminisme gelombang kedua selama tahun 1960 –an. Hal ini ditunjukkan oleh perjuangan hak pilih oleh kaum perempuan yang berhasil menempati kantor publik , dan pilihan menggunakan lebih banyak ruang personalnya. ( Alice 1995 :7 )
Posfeminisme telah memiliki nilai baru ( new currency ) , yang sering kali bermusuhan dan diarahkan terutama kepada para feminis. Salah satu penganjur utama konsepsi populer ‘posfeminisme ‘ ini adalah Susan Faludi, didalam bukunya Backlas. Dia berpendapat bahwa feminisme adalah cita rasa tahun 1970an dan posfemisnisme adalah cerita baru – lengkap dengan generasi lebih muda yang diduga turut mencerca gerakan perempuan. ( 1992 :14 ) .
Pesan paling persuasif bagi posfeminisme populer bahwa feminisme telah mendorong perempuan untuk menginginkan terlalu banyak, Posfeminisme ditawarkan sebagai pelarian dari beban untuk menjadi ‘perempuan super ‘dalam rangka memenuhi citra sukses kaum feminis. Posfeminisme adalah pergeseran konseptual dalam feminisme, dari debat sekitar persamaan ke debat yang difokuskan pada perbedaan. Hal ini bukan perihal depolitisasi feminisme, melainkan pergeseran politis di dalam agenda konseptual dan teoritis feminisme.
Posfeminisme bergerak sebagai reaksi tantangan yang ditujukan pada apa yang telah diidentifikasikan sebagai feminisme ‘hegemonik’yang akarnya jelas berada dalam pengaruh Anglo Amerika yang begitu kuat mempengaruhi konseptualisasi feminisme gelombang kedua. Pergeseran penekanan dari persamaan ke perbedaan meuncul dari dalam barisan femisisme sendiri sebagai akibat kritik dari perempuan kulit berwarna , feminis Dunia Ketiga dan feminis lesbian, sebagai persimpangan feminisme dengan postrukturalisme dan posmodernisme.
· Feminisme, Modernitas, dan Posmodernitas
Feminisme bersanding dengan modernitas atas dasar keberakarannya di dalam ruang terbuka lebar oleh wacana tentang ‘hak ‘ . Namun, dia mencatat bahwa, pada saat yang bersamaan komitmen feminisme pada ‘ perbedaan ‘dan keanekaragaman serta pendirian skeptisnya terhadap nalar membangkitkan posmodern. Posmodernisme bermakna meningkatkan gagasan universalistik, teori – teori umum , dan malahan menjelajahi dunia multivokal yang terdiri dari masyrakat dan kebudayaan yang berbeda. Isu tentang subjektivitas , terletak di jantung penempatan posisi femisisme yang ambigu antara modernitas dan p;osmodernitas.
Feminisme gelombang kedua telah mengabaikan ‘pengalaman hidup rasisme ‘. Kegagalan teori feminis muncul tidak hanya dari sifatmya yang etnosentrisme, tetapi juga kegagalannya untuk menempatan isu rasisme. Tiga alasan kenapa feminisme harus melewati suatu periode kritik diri yang radikal : ( 1 ) dampak politis dari perempuan kulit berwarna di dalam feminisme , isu perbedaan seksual , yang disoroti sebagai area yang selama ini tidak diartikulasikan memadai di dalam teori – teori feminis gelombang kedua, ( 2 ) lebih umum lagi seluruh area subjektivitas , keanekaragaman , dan perbedaan di dalam pembentukan teori feminis, ( 3 ) dan dampak postrukturalisme dan posmodernisme pada femisisme.
Bukan pengalaman itu sendiri, melainkan karena berpikir dari posisi kontradiktif , yang menghasilkan pengetahuan feminis. Jadi, penegetahuan feminis bukanlah sesuatu yang mutlak dihasilkan oleh perempuan, atau perempuan yang tertindas ; pengetahuan tersebut juga dapat dihasilkan oleh pria dan kelompok yang lain.
Tiga pemikiran esensialis feminis : Esensialisme biologis, esensialisme filosofis , dan reifikasi historis. Esensialisme biologis biasanyaa dikaitkan dengan karya Shulamith Firestone, Mary Daly, dan Adrienne Rich. Esensialisme filosofis direpresentasikan oleh karya Simone Beauvoir. Kedua kelompok penulis tersebut berkontribusi pada teori – teori subjektivitas dengan perbedaan gender, di mana pengertian perempuan tentang diri dipandang terletak di dalam kekhasan tubuh perempuan. Reifikasi historis pengalaman perempuan dan reifikasi ‘identitas gender’ yang berkaitan sangat jelas dinyatakan dalam teori femisis sosialis. Reifikasi historis dan pemisahan ( conflation ) publik / privat , produksi / reproduksi , laki – laki / perempuan , juga menjadi ciri khas bagian terbesar dari teori feminis masrxis yang difokuskan pada pembagian kerja berdasarkan gender dalam kapitalisme.
Posstruktural feminis beranggapan ‘Subjek’ bukan lagi suatu entitas yang tetap , sebagai manivestasi dari esensi, melainkan ‘suatu subjek – di dalam proses yang tidak pernah bersatu , tidak pernah lengap. Posisi anti – esensialis ini memuncak , di dalam pendiriran posfeminis , di mana konsepsi tentang identitas feminis kolektif dirasa sebagai sesuatau yang totaliter dan berbahaya.
Gender bersifat performatif, ia merupakan efek dari pertunjukan dan berada di dalam pertunjukan. Tidak ada ‘esensi ‘ yang direfleksikan melalui gender – ia hanya dipakai sebagai samaran dari kealamian melalui pertunjukan yang dikonstruksi secara berulang dan diskursif . Sebagaimana usaha ferminisme liberal untuk membangun kesetaraan dengan laki –laki – maupun penekanan feminis radikal pada perbedaan mutlak yang diekspresikan sebagai separatisme , keduanya tidak memadai secara politis.
Menantang Basis Proyek Epistemologis Feminis
Pengetahuan dan pembebasan dianggap sebagai tujuan yang terus meningkat dan saling berhubungan : sejauh perempuan memperoleh pengetahuan yang lebih tentang posisi mereka di dunia , di duga bahwa kuasa mereka untuk mentransformasikan posisi mereka akan meningkat selaras hal tersebut. ( Mc Neil ) .
Halberg berpendapat ada tiga ketegangan yang inheren di dalam proyek feminis yang tidak mampu dipecahkan pada tingkatan teoritis yakni permasalahan onjektivisme dan relativisme, pemikiran perempuan dan laki – laki , dan perbedaan pemikiran feminis. Perdebatan di dalam beberapa cabang feminisme telah berkembang di seputar apa yang dipandang menjadi persaingan konsep ‘nalar’ versus ‘pengalaman ‘ sebagai variabel penting dalam kemunculan epistemologi feminis. (Herlina Rahmawati)
Post – feminisme tercipta pada periode antara tercapainya hak pilih perempuan AS dan kebangkitan feminisme gelombang kedua selama tahun 1960 –an. Hal ini ditunjukkan oleh perjuangan hak pilih oleh kaum perempuan yang berhasil menempati kantor publik , dan pilihan menggunakan lebih banyak ruang personalnya. ( Alice 1995 :7 )
Posfeminisme telah memiliki nilai baru ( new currency ) , yang sering kali bermusuhan dan diarahkan terutama kepada para feminis. Salah satu penganjur utama konsepsi populer ‘posfeminisme ‘ ini adalah Susan Faludi, didalam bukunya Backlas. Dia berpendapat bahwa feminisme adalah cita rasa tahun 1970an dan posfemisnisme adalah cerita baru – lengkap dengan generasi lebih muda yang diduga turut mencerca gerakan perempuan. ( 1992 :14 ) .
Pesan paling persuasif bagi posfeminisme populer bahwa feminisme telah mendorong perempuan untuk menginginkan terlalu banyak, Posfeminisme ditawarkan sebagai pelarian dari beban untuk menjadi ‘perempuan super ‘dalam rangka memenuhi citra sukses kaum feminis. Posfeminisme adalah pergeseran konseptual dalam feminisme, dari debat sekitar persamaan ke debat yang difokuskan pada perbedaan. Hal ini bukan perihal depolitisasi feminisme, melainkan pergeseran politis di dalam agenda konseptual dan teoritis feminisme.
Posfeminisme bergerak sebagai reaksi tantangan yang ditujukan pada apa yang telah diidentifikasikan sebagai feminisme ‘hegemonik’yang akarnya jelas berada dalam pengaruh Anglo Amerika yang begitu kuat mempengaruhi konseptualisasi feminisme gelombang kedua. Pergeseran penekanan dari persamaan ke perbedaan meuncul dari dalam barisan femisisme sendiri sebagai akibat kritik dari perempuan kulit berwarna , feminis Dunia Ketiga dan feminis lesbian, sebagai persimpangan feminisme dengan postrukturalisme dan posmodernisme.
· Feminisme, Modernitas, dan Posmodernitas
Feminisme bersanding dengan modernitas atas dasar keberakarannya di dalam ruang terbuka lebar oleh wacana tentang ‘hak ‘ . Namun, dia mencatat bahwa, pada saat yang bersamaan komitmen feminisme pada ‘ perbedaan ‘dan keanekaragaman serta pendirian skeptisnya terhadap nalar membangkitkan posmodern. Posmodernisme bermakna meningkatkan gagasan universalistik, teori – teori umum , dan malahan menjelajahi dunia multivokal yang terdiri dari masyrakat dan kebudayaan yang berbeda. Isu tentang subjektivitas , terletak di jantung penempatan posisi femisisme yang ambigu antara modernitas dan p;osmodernitas.
Feminisme gelombang kedua telah mengabaikan ‘pengalaman hidup rasisme ‘. Kegagalan teori feminis muncul tidak hanya dari sifatmya yang etnosentrisme, tetapi juga kegagalannya untuk menempatan isu rasisme. Tiga alasan kenapa feminisme harus melewati suatu periode kritik diri yang radikal : ( 1 ) dampak politis dari perempuan kulit berwarna di dalam feminisme , isu perbedaan seksual , yang disoroti sebagai area yang selama ini tidak diartikulasikan memadai di dalam teori – teori feminis gelombang kedua, ( 2 ) lebih umum lagi seluruh area subjektivitas , keanekaragaman , dan perbedaan di dalam pembentukan teori feminis, ( 3 ) dan dampak postrukturalisme dan posmodernisme pada femisisme.
Bukan pengalaman itu sendiri, melainkan karena berpikir dari posisi kontradiktif , yang menghasilkan pengetahuan feminis. Jadi, penegetahuan feminis bukanlah sesuatu yang mutlak dihasilkan oleh perempuan, atau perempuan yang tertindas ; pengetahuan tersebut juga dapat dihasilkan oleh pria dan kelompok yang lain.
Tiga pemikiran esensialis feminis : Esensialisme biologis, esensialisme filosofis , dan reifikasi historis. Esensialisme biologis biasanyaa dikaitkan dengan karya Shulamith Firestone, Mary Daly, dan Adrienne Rich. Esensialisme filosofis direpresentasikan oleh karya Simone Beauvoir. Kedua kelompok penulis tersebut berkontribusi pada teori – teori subjektivitas dengan perbedaan gender, di mana pengertian perempuan tentang diri dipandang terletak di dalam kekhasan tubuh perempuan. Reifikasi historis pengalaman perempuan dan reifikasi ‘identitas gender’ yang berkaitan sangat jelas dinyatakan dalam teori femisis sosialis. Reifikasi historis dan pemisahan ( conflation ) publik / privat , produksi / reproduksi , laki – laki / perempuan , juga menjadi ciri khas bagian terbesar dari teori feminis masrxis yang difokuskan pada pembagian kerja berdasarkan gender dalam kapitalisme.
Posstruktural feminis beranggapan ‘Subjek’ bukan lagi suatu entitas yang tetap , sebagai manivestasi dari esensi, melainkan ‘suatu subjek – di dalam proses yang tidak pernah bersatu , tidak pernah lengap. Posisi anti – esensialis ini memuncak , di dalam pendiriran posfeminis , di mana konsepsi tentang identitas feminis kolektif dirasa sebagai sesuatau yang totaliter dan berbahaya.
Gender bersifat performatif, ia merupakan efek dari pertunjukan dan berada di dalam pertunjukan. Tidak ada ‘esensi ‘ yang direfleksikan melalui gender – ia hanya dipakai sebagai samaran dari kealamian melalui pertunjukan yang dikonstruksi secara berulang dan diskursif . Sebagaimana usaha ferminisme liberal untuk membangun kesetaraan dengan laki –laki – maupun penekanan feminis radikal pada perbedaan mutlak yang diekspresikan sebagai separatisme , keduanya tidak memadai secara politis.
Menantang Basis Proyek Epistemologis Feminis
Pengetahuan dan pembebasan dianggap sebagai tujuan yang terus meningkat dan saling berhubungan : sejauh perempuan memperoleh pengetahuan yang lebih tentang posisi mereka di dunia , di duga bahwa kuasa mereka untuk mentransformasikan posisi mereka akan meningkat selaras hal tersebut. ( Mc Neil ) .
Halberg berpendapat ada tiga ketegangan yang inheren di dalam proyek feminis yang tidak mampu dipecahkan pada tingkatan teoritis yakni permasalahan onjektivisme dan relativisme, pemikiran perempuan dan laki – laki , dan perbedaan pemikiran feminis. Perdebatan di dalam beberapa cabang feminisme telah berkembang di seputar apa yang dipandang menjadi persaingan konsep ‘nalar’ versus ‘pengalaman ‘ sebagai variabel penting dalam kemunculan epistemologi feminis. (Herlina Rahmawati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar